Dhani Irfansyah cuma punya dua modal penting dalam hidupnya: Kemauan
keras untuk belajar dan kecintaan yang luhur pada kesenian tradisional.
Maka, dari tangannya lahir 16 aplikasi alat musik tradisional Sunda yang
sudah diunduh ribuan orang di Apple Store.
Guru Biologi, Kesenian, dan Komputer di sekolah RI di Tokyo, Jepang
ini adalah 1 dari 5 penerima penghargaan Anugerah Inovasi Jawa Barat
(AIJB) 2012 kategori individu bidang seni dan budaya.
Dia menyabet gelar karena menciptakan perangkat lunak aplikasi alat
seni budaya Sunda, seperti angklung, karinding, dan kacapi yang bisa
dimainkan di iPad, iPod touch serta iPhone untuk memopulerkan budaya
Sunda ke dunia internasional.
Gelar tersebut membuat banyak orang menoleh kepada Irfan. Namanya
lebih dulu harum di luar negeri ketimbang di tanah kelahirannya sendiri,
Jawa Barat. “Saya lebih banyak diwawancara media luar ketimbang media
lokal,” kata lelaki berusia 33 tahun ini kepada Bisnis.
Hampir 8 tahun tinggal di Tokyo, Jepang dan hidup mapan, Dhani lalu
tergerak untuk memperkenalkan alat musik tradisional Sunda pada
murid-murid SMP dan SMA. “Awalnya, ide membuat aplikasi-aplikasi itu
berasal dari pertanyaan satu orang murid.
“Pak, bagaimana bunyi alat musik tifa? Saya bingung menjawabnya, oh
seperti kendang. Tapi karena tidak ada alatnya, saya sulit untuk
menggambarkannya,” katanya. Tifa adalah alat musik dari Maluku yang
mirip Kendang.
Pertanyaan itu mencambuknya. dIa memutar otak, membuka literatur dan mencari-cari jawaban dari Google.
Ide pun datang, harus ada aplikasi alat musik yang bisa diinstal dan
dimainkan dalam gadget Apple. Kenapa harus Apple? “Karena di luar negeri
itu banyak yang memakai produk-produk apple, banyak siswa saya juga
pakai apple,” katanya.
Maka dibangunlah proyek aplikasi pertama ‘Kendang 1.1’ agar dalam
proses belajar mengajar terjadi interaksi yang lebih guyub dengan para
murid.
Pada 2009, di Tokyo dengan alat musik yang ada di sana, mula-mula
merekam suara kendang asli. “Aplikasi yang saya buat suaranya harus
asli, kalau kendang, ya kendang asli,” katanya. Lantas dia menggurat
desain aplikasi, grafis hingga menjadi programer.
Setelah rampung, aplikasi itu diperkenalkan kepada murid-muridnya dan
mendapat sambutan antusias. Pada Apple akhirnya Dhani menemukan jalan
memperkenalkan alat musik ini untuk dunia luar.
Lewat Masagi Studio yang digagasnya, Dia mendaftarkan aplikasinya pada brand yang didirikan almarhum Steve Jobs tersebut .
Dalam dua minggu App Store menyetujui untuk memajang aplikasi
tersebut secara gratis. “Kendang dalam 6 bulan terakhir sudah diunduh
27.000 pengunduh. Aplikasi lain juga rata-rata diunduh sebanyak itu,”
katanya.
Menurutnya kebanyakan yang mengunduh aplikasi ini berasal dari Amerika, Belanda dan Jepang.
Sukses dengan Kendang, Dhani bergairah untuk kembali membuat aplikasi
musik tradisional lain seperti kecapi, karinding, genteng tarawangsa,
angklung, celempung, calung, gamelan Jawa.
Alat musik dari Sumatra Barat seperti talempong dan kolintang pun
dibuatkan aplikasinya. “Total sudah ada 16 aplikasi yang sudah saya
buat, ada 10 aplikasi lain yang tengah dikembangkan,” ujarnya.
Semua aplikasi ini bisa diunduh gratis para pengguna Apple seluruh
dunia. “Cuma satu yang tidak gratis, iAngklung, karena setiap tahun saya
harus kontrak dan bayar ke Apple, harapan saya dengan ada yang beli
bisa menutupi [biaya] itu semua,” katanya.
Dhani ingin agar iAngklung yang menjadi kebanggaan warga Jabar
langgeng di App Store. iAngklung sendiri adalah aplikasi yang termasuk
paling sulit saat pertama kali dibangun.
Dia harus membuat kalkulator angklung dan menentukan nada-nada partitur angklung agar bisa dimainkan serempak.
Dhani lantas mempraktikan aplikasi iAngklung. Mengeluarkan iPad dari
tas selendangnya, membuka aplikasi lalu menggoyangkan iPad-nya. Gambar
angklung di layar iPad-nya bergerak alami sembari mengeluarkan suara
angklung asli.
Dia juga menunjukan aplikasi angklung yang dibuat untuk anak-anak
sekolah dasar belajar. Dengan menekan angka-angka yang menunjukan nada
lagu do-re-mi, maka angklung di layar iPad berbunyi sesuai dengan tombol
yang disentuh.
Ini ‘Sarinandelite’, aplikasi terakhir angklung satu oktaf yang bakal
segera diluncurkan. “Ini sama dengan main organ, panjang pendeknya nada
tergantung kita mijit. Anak-anak kecil senang sampai dewasa,” jelasnya.
iAngklung yang dibuat pada 2010 itu, dijual sekali unduh seharga Rp8.500 untuk selamanya. “Kalau di Jepang 85 yen,” katanya.
Dhani mengaku pemasukan sebagai developer untuk satu aplikasi ini
terbilang kecil, namun, menurutnya, hal tersebut bukan persoalan
terpenting adalah pengenalan budaya kepada dunia internasional.
Agar para pengunduh mengenal bahwa alat musik tradisional tersebut
berasal dari Indonesia, Dhani juga membubuhkan profil dan sejarah alat
tersebut dalam aplikasi. “Apa itu angklung, berasal dari daerah mana,”
katanya.
Saat ini aplikasi musik ini sudah dipakai di St Louis Amerika,
Australia dan Universitas Tokyo sebagai bahan ajar. Menurutnya aplikasi
tersebut dipakai di kelas sebagai bahan simulasi sebelum para siswa atau
mahasiswa terjun ke alat musik yang asli.
***
Pertanyaan selanjutnya adalah darimana seorang guru biologi dan
kesenian memiliki skill mumpuni dalam bidang pengembangan software?
Dhani, lelaki tinggi kurus itu tertawa ketika diajak mengingat darimana
kemampuan itu. “Saya baru mengenal komputer 2004,” kata lulusan Biologi
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) angkatan 2007 ini.
Komputer bagi penduduk tempat tinggalnya di Cikalong Wetan, Kabupaten
Bandung Barat tahun itu masih jadi barang langka. Perangkat ciptaan
ilmuwan Charles Babbage itu menurutnya barang mewah. Bahkan dia ingat,
selama kuliah untuk mengerjakan tugas pun masih memakai mesin tik.
Namun perkenalannya dengan komputer tak sia-sia. 2004, usai lulus
sarjana, dia melamar ke Diknas bekerja ke Jepang untuk mengajar. Di
Tokyo, Dhani makin larut dan belajar banyak mendalami dunia komputer
dari programming, web desain, hingga developer.
Ilmu komputer ini bersinergi dengan darah seni yang mengalir di
tubuhnya. Sang ayah, Achmad Dradjat, adalah seorang pemain kecapi yang
juga pernah menjadi guru dan kepala sekolah SD di daerah Cikalong Wetan.
Sementara ibunya, Komalasari, penggiat seni penca. Saat kuliah di UPI, Dhani juga aktif di unit Kabumi yaitu sanggar seni Sunda.
Meskipun sudah terbiasa, Dhani mengaku membuat aplikasi bukanlah
persoalan mudah, rata-rata untuk satu aplikasi membutuhkan waktu dua
bulan. Paling klasik adalah minimnya alat musik tradisional Sunda yang
ada di Jepang.
Padahal suara asli alat musik tersebut diperlukannya agar aplikasi
terdengar nyata. “Kalau alat musik yang tidak ada seperti celempung,
karinding saya harus menyempatkan waktu pulang, take suaranya,” katanya.
Jika sulit menyempatkan waktu untuk mengambil suara alat music
tradisonal, solusinya meminta bantuan sejumlah rekan untuk merekam.
Proses riset dan wawancara ahli atau pelaku juga dilakukan ketika
aplikasi itu tengah dibangun. Dengan begini, Dhani mengaku hendak
meminimalisasi kesalahan dalam pembuatan aplikasi dalam urusan nada
hingga informasi soal sejarah alat musik tradisional. “Saya takut salah,
beruntung banyak yang dimintai bantuan ikhlas,” katanya sambil tertawa.
Dhani sadar upaya melestarikan budaya lewat aplikasi ini belum
mendatangkan benefit besar. Bahkan, hadiah Rp100 juta yang didapat dari
AIJB 2012, rencananya akan dibagi kepada sejumlah seniman yang membantu
membangun aplikasi, dan akan menjadi modal untuk memperbanyak aplikasi
musik tradisional. “Masih banyak yang harus saya bikin, sekarang baru
16,” tuturnya.
Melalui Masagi Studio yang dibangun bersama beberapa rekannya, Dhani
mengembangkan lini usaha lain seperti pembuatan desain logo sampai
pembuatan animasi dan film. Pada 2011 lalu misalnya, bersama sejumlah
animator, Dhani membuat film serial si Unyil berjudul “Ayam Pak Raden”
sampai video klip.
Film si Unyil direncanakan sejak awal 2008. “Waktu yang saya siapkan
cukup lama sampai akhirnya pada awal 2011 bisa kita saksikan
bersama-sama,” katanya. Film Serial Boneka Si Unyil, baginya adalah
warisan budaya Indonesia yang harus dilestarikan keberadaannya.
Dhani percaya, anak bangsa yang bisa membuat aplikasi seperti dirinya
tak sedikit. “Saya sarankan pada developer Indonesia, ayolah buat
konten lokal Indonesia, ini tak kalah pentingnya. Bisa bersaing, karena
di luar yang laku itu konten [tradisional] seperti ini,” katanya.
Batik hingga karapan sapi, menurutnya bisa dibuat aplikasi. Saat ini
Masagi sendiri tengah menggarap aplikasi game adu domba untuk dijual ke
App Store. “Bagaimanapun bentuknya bagi saya tetap, harus bawa nama
Jawa Barat,” katanya.
Menurutnya jika diseriusi atau membuat aplikasi berbayar, developer bisa mendapat untung yang cukup menjamin.
Bapak satu orang putri ini sendiri masih menyimpan obsesi
pengembangan aplikasi musik tradisional khususnya sunda. Ia berencana
membuat direktori dan peta interaktif tentang alat musik tradisional
sunda dan tentu beserta aplikasinya.
“Di Sunda sendiri ada 200 alat musik tradisional, kalau ada
kesempatan saya akan terus mengembangkan menjadi aplikasi. Ini cara
mudah untuk mengenalkan ke warga dunia,” tuturnya. Pada upaya dan
kesungguhan Dhany, kita semua belajar banyak dan tak usah malu-malu
turut bangga. (K57)
Sumber: Bisnis Jabar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar